![]() |
sumber gambar: https://twitter.com/sarlisart/status/914530820341288960 |
Kamu
tahu bagaimana aku berlatih untuk membuat api? Tentu saja api yang kau pikirkan
sekarang. Api yang biasa dimanfaatkan untuk apapun. Dari penerangan ataupun
percobaan masak-memasak kecilmu. Aku berlatih membuat api dalam 11 hari
perjalanan di Alam. Membuat api dalam kondisi apapun. Dari kondisi hujan,
berangin, panas atau bahkan dalam kondisi setengah sadar.
Aku
membuat api dari rumput-rumput kering yang biasanya malah kau injak. Aku membuat
api dari kayu yang basah, dari bambu yang lembab, serta dari ranting yang
patah. Aku membuat api dengan modal hati-hati. Aku berhati-hati untuk bisa membuat
bara dari modal yang kusebut diatas. Berhati-hati modal mana yang tepat dengan
keadaan yang aku sebut juga di atas. Tidak gampang. Membuat api dan membuat
bara adalah dua hal yang berbeda namun saling berkaitan tentu saja. Karena api
hanya akan bersembunyi dalam bara yang aku atau engkau coba buat sendiri.
Kamu
lebih tahu bahwa api adalah elemen yang paling dibutuhkan dalam semesta berisi manusia.
Dengan tuntutan untuk hadir selalu ketika kau berada di belantara atau di
apartemen tipe studio kesukaanmu. Api bahkan menjadi penghangat kala kau
berkemah saat hujan, atau saat malam dimusim kemarau yang terhampar bintang.
Dengan
penjelasan yang pernah ku sebut di atas, kamu bahkan orang yang paling mengerti
bagaimana aku sangat berhati-hati dalam membuat bara. Bahkan tak segan juga kau
membuat api di sudut dimana kita masih
saling merasa ada. Sayagnya, aku tak tahu bagaiman kondisi saat itu kau membuat
api. Apakah saat hujan, mendung atau badai? Atau bahkan saat kemarau yang tentu
saja dengan gampangnya akan membuat letupan api kecil menjadi bara yang merona
nantinya. Aku tak tahu karena yang kita sama-sama tahu adalah kita berada di
sudut yang berbeda. Tapi yang sama-sama kita tahu bahwa kita sedang membuat api
yang kusebut di atas. Yang menjadi elemen penting bagi manusia di semesta, yang
menjadi penghangat saat hawa dingin tiba, serta yang menjauhkan dari bahaya
saat di hutan liar misalnya.
Lalu,
dalam perjalan itu, kita juga sama-sama tahu bahwa untuk membuat nyala api
harus ada bara. Atau mungkin aku tidak tahu bahwa nyala apimu hanya karena
percikan bunga api dari rumput kering yang hanya terkena angin. Yang terlihat
merona berdansa namun hanya sementara. Sedang yang sama-sama kita tahu adalah
kita sama-sama melihat bunga api itu. Entah api mana yang nyala berkobar karena
angin berdansa dengannya, atau api yang nyala dengan tenang karena ada bara
yang menopangnya. Kita sama-sama tidak tahu itu, dan tidak memberi tahu itu. Iya
kan? Karena yang kita tahu hanya api yang menyala.
Sedang
dalam kobar api yang sementara itu, yang aku tahu dari perjalanan 11 hari yang
kusebut di awal narasi, api itu tidak perlu untuk manusia sepertiku. Yang
dibutuhkankan untuk memasak mungkin, untuk keamanan, bahkan untuk penerangan. Sedang
dalam nyala api itu, kau tahu bahwa aku berada dalam kondisi peralihan. Kau membantuku
untuk merawat api, bahkan kau bersama membentuk bara meski hanya sebagian kecil
saja. Saat itu kita sama-sama tahu bahwa api dihadapanku atau kita, sedang
menyala dan berdansa dengan sendirinya. Mungkin karena angin semesta yang lewat
begitu saja, atau karena sebuah napas yang sengaja kau tiup agar bara itu tidak
mati. Di situ kita sama sama tau bahwa api itu tidak mati untuk sekian lama
karena kita sama-sama menjaga.
Sayangnya,
kita masih sama-sama tidak bicara bagaimana bara api yang ada. Apakah perapian
yang kau buat masih menyimpan bara. Ataukah perapian yang ku rawat sudah hilang
bara. Kita sama-sama tidak tahu kan? Sedang dalam kelelahan, aku sudah sampai
tahap tak mau mencari kayu, ranting patah, atau rumput kering untuk nyala
apiku. Aku lebih baik balik untuk tidur dalam tempat bersemayamku. Karena yang
aku tahu, dalam perapianku masih ada bara yang masih bisa menyala meski aku atau
kau tinggal entah berapa lama. Sedang yang aku tahu, kau terlalu familiar untuk
meniupkan angin dalam bara itu. Sekali, dua kali, dengan sengaja atau tidak
sengaja. Mana aku bisa tahu untuk itu? Bahwa sengaja atau tidak sengaja.
Sedang semakin lama lebih jelas meski kita
berada disudut berbeda. kamu sering menghembus napas agar nyala dalam bara ku
masih bisa untuk tetap tenang menyala dalam malam yang paling diam. Semakin
jelas juga kita saling melepas tawa karena api yang kadang hancur berantakan
namun pulih kembali karena kita berdua sama-sama menjaganya. Namun, aku semakin
jelas juga bahwa disudut itu, nyala apimu semakin redup. Tak ada kobar api,
atau nyala percik api. Sama sama gelap seperti malam, tak ada bara. Tak ada
bara!
Bagaimana
aku bisa sesenang itu kalau kau mengehembus napasmu untuk memanggil angin agar
mau berdansa dengan bara yang ada padaku. Yang akhirnya menciptakan ronta dan
lidah api yang semakin membumbung tinggi. Sedang aku sama sekali tak sadar
bahwa baramu tak ada, apimu padam entah sejak kapan. Lalu setelah lelah nelihat
api yang membumbung tinggi di dahapan ku ini, kau kembali dalam sudut itu. Sudut
yang awalnya kita sama-sama tahu namun sekarang tak ada sama sekali keberadaan
yang sama. Engkau pergi hilang sendiri, aku kecewa menunggu di sisi.
Dalam
berapa lama itu, kau tahu bahwa aku membuat bara dengan hati-hati. Sedang
semakin berhati-hati aku membuat bara, akan semakin lama pula bara itu untuk
bertahan. Dengan sama-sama tahu bahwa sudah tak ada pada ranah yang sama,
tahukah kamu bagaimana aku mampu memadamkan bara? Meski aku tinggal selalu ada angin
yang membuatnya merajuk dan menyala. Dengan air? Entah kenapa air tak bisa
bekerja. Yang aku tahu aku hanya menunggu musim untuk berakhir. Karena yang aku
tahu, bahwa aku salah membuat api dimusim ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar